Kotawaringin News, Lamandau – Sountrack film kartun Ninja Hatori menjadi pengiring perjalanan pagi itu, 25 Maret 2021. Saya bersama tiga kawan jurnalis yang tergabung dalam organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lamandau (Hendi Nurpalah Borneo News, Karamoi Suwartono Tabengan dan Bintang Rahmadi Mata Kalteng/Lamandau TV) sedang memulai petualangan menuju puncak Bukit Kubau, Desa Lubuk Hiju, Kecamatan Menthobi Raya, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Bukit itu disebut-sebut sebagai pemilik tempat yang paling tinggi di kabupaten berjuluk Bumi Bahaum Bakuba ini.
Dari Nanga Bulik, Ibu Kota Kabupaten Lamandau, jaraknya membentang sejauh 90 kilometer membelah jalan Trans-Kalimantan, Jalan Perigi, Jalan Bukit Raya serta Jalan Aspex Perusahaan Korintiga Hutani. Sekira 2,5 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat, sampailah di Desa Lubuk Hiju. Kampung lokal yang menyuguhkan eksotisme adat budaya.
Di Lubuk Hiju, kami bertemu rombongan dari Dinas Pariwisata Lamandau. Sama, mereka memiliki tujuan utama untuk mendaki Bukit Kubau. Acara tambahannya, Dispar Lamandau meresmikan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kubau Mandang Lubuk Hiju.
Semuanya ikuti ritual adat sebelum berangkat berangkat ke bukit tersebut. Ikat tongang dan tabur beras menjadi ritual adat yang digelar. Sembari melantunkan jampi-jampi, Tetua Adat mengikatkan tali yang terbuat dari akar ke tangan sebelah kanan setiap orang yang akan berangkat menuju Bukit Kubau. Pun demikian, beras ditabur ke setiap kepala mereka. Seusai itu, foto bersama menjadi ‘ritual’ terakhir sebelum berangkat.
Perjalanan dari Desa Lubuk Hiju dimulai dengan naik ojek menuju pos satu yang berjarak sekira 5 kilometer. Selama kurang dari 20 menit, berkendara di atas jalan tanah merah becek bergelombang, yang sebenarnya bagus bagi para pecinta trabas. Jika berjalan kaki, dari perkampungan sampai ke pos satu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.
Nyempung
Di pos satu, tersaji beningnya Sungai Topalan. Wajah sumeringah dari setiap orang yang ikut dalam perjalanan ini terpancar. Rona kekaguman terlihat di wajah mereka. Pohon-pohon rindang memayungi jalur sungai itu. Lantunan suara aliran sungai tersebut berbisik merdu di telinga. Sungguh mempesona.
Byuuurrr, serentak semua nyemplung ke air sungai Topalan. Badan terasa segar. Capek terasa hilang. Kepala terasa ringan. Mata pun termanjakan melihat alam perawan yang dibelah Sungai Topalan. Sudahlah. Tak akan habis menceritakan kenikmatannya.
Aroma petualangan semakin tercium saat mulai perjalanan dari pos satu. Diiringi gemercik suara aliran sungai, perjalanan perjalanan pendakian pun dimulai, meski waktu sudah menunjukan pukul 15.00 WIB. Riuhnya bambu diselingi pepohonan yang berdiameter cukup besar dapat ditemui selama perjalanan. Membutuhkan waktu hingga satu jam untuk mencapai pos dua. Untuk mencapai pos dua ini, trek jalannya cukup landai, tak terlalu sulit. Suara kicau burung, udara yang menyegarkan dan bau pepohonan hutan membuat perjalanan kian menyenangkan.
Sesampainya di pos dua, disajikan dengan indahnya batu besar berdiameter sekitar 20 meter. Batu yang bernama Patopa Tuban itu mampu menjadi tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Bukit Kubau. Secara harfiah, Patopa itu pertapaan dan Tuban artinya manusia. Jadi, batu tempat orang bertapa. Di salah satu sisinya, batu tersebut berbentuk lengkungan seperti goa, sedangkan atasnya menjorok keluar bak payung. Posisi pos dua ini pun berada dekat dengan mata air Sungai Topalan. Bisa digunakan untuk sekedar cuci muka, menyeka keringat. Pun airnya bisa langsung diminum.
Perjuangan Sesungguhnya
Beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pos tiga yang menjadi terakhir sebelum pendakian ke puncak Bukit Kubau. Di sinilah, perjuangan yang susungguhnya. Medannya sangat sulit. Tak ada trek landai atau bahkan turunan, yang ditemui hanya tanjakan. Tingkat kemiringinnya pun cukup curam 45-60 derajat. Jalan setapak, bahkan ada trek yang disebelah kanan tebing dan sebelah kirinya jurang, pun juga menanjak.
Tampak jelas, setiap orang sudah memikirkan dirinya sendiri. Bahkan, dua kawan jurnalis (Hendi Nurpalah dan Bintang Rahmadi) meninggalkan rombongan, bergerak cepat tanpa mempedulikan saya, Karamoi dan rombongan lainnya dari Dinas Pariwisata Lamandau serta Pokdarwis Lubuk Hiju. “Mereka telah mengkhianati kita,” cetus Karamoi mengumpat.
Sudah tak terhitung lagi, saya dan Karamoi terjatuh. Bahkan, dalam suatu momen, saat kami beristirahat dengan salah seorang anggota Pokdarwis Desa Lubuk Hiju yang melakukan komunikasi menggunakan HT dengan Kades Lubuk Hiju Amos Yanto, yang memang sudah berada di Pos Tiga di hari sebelumnya menyatakan dua kawan jurnalis telah bersamanya.
Pun demikian, Amos Yanto setelah mendapatkan gambaran posisi kami, mengatakan bahwa perjalanan masih jauh. Bahkan, baru hampir separuh jalan. Begitu syoknya kami. Dilema, turun jauh, naik juga masih jauh. Apalagi hari sudah semakin sore. “Mental saya semakin jatuh. Itu kacau mereka (Hendi dan Bintang) sudah sampai, kita loh separuh pun belum,” ucap Karamoi dengan nafas terengah-engah, bermuka pucat pasi.
Dengan terpaksa, kami pun melanjutkan perjalanan. Jatuh bangun, pakaian kotor hingga sejumlah pacet menempel di kulit menyedot darah sudah tak dipedulikan. Di pikiran hanya ingin cepat sampai pos tiga. Hari pun sudah mulai gelap, sedangkan pos tiga tak kunjung ditemui. Jalan setapak yang terjal kian tak terlihat. Smartphone mulai dikeluakan untuk menyalakan mode senter. Tapi memang sangat sulit, cahaya senter smartphone tak begitu terang.
Beruntung, salah seorang pegawai Dispar Lamandau membawa senter sorot. Karena malam, meski ada senter, jalan harus lebih hati-hati. Setapak demi setapak, kadang merangkak. Akhirnya, sekira pukul 19.00 WIB, kami pun tiba di pos tiga. Bahkan, ada yang sampai pos tiga sekitar pukul 21.00 WIB. Sebagian pula ada yang menginap di pos dua, dan melanjutkan perjalanan di keesokan harinya.
Sesampainya di pos tiga, saya pun mandi sebelum mengisi perut kosong yang lapar. Di pos tiga ini telah dibangun rumah kayu. Pun demikian disampingnya terdapat kamar mandi serta tempat penampungan air. Seusai mandi dan mengisi perut, saya langsung tidur beristirahat. Meski angin kencang dan hawa yang dingin, tetap tenang karena saya membawa bedcover (selimut tebal) sekaligus bantal. Yang lain kedinginan, saya malah kepanasan.
Berfoto
Keesokan harinya, saya bersama yang lainnya bangun pagi. Sembari menikmati secangkir kopi, foto diri berlatarkan sunrise (terbit matahari) yang dibalut awan serta luasnya hutan yang tampak anggun di kejauhan menjadi momen yang ‘haram’ untuk dilewatkan. Selain itu, foto berlatarkan Bukit Kubau menjadi spot yang paling diminati.
Seusai puas berfoto, selang beberapa waktu, sampailah rombongan lainnya di pos tiga. Mereka dari Pokdarwis Desa Lubuk Hiju, Dispar Lamandau serta sejumlah anggota TNI-Polri. Mereka ini, adalah rombongan yang memutuskan bermalam di pos dua. Sekira pukul 09.00 WIB di hari kedua tersebut, Hendi dan Bintang bersama anggota TNI-Polri serta sebagian anggota Pokdarwis Desa Lubuk Hiju melakukan pendakian ke puncak Bukit Kubau.
Saya dan Karamoi, sepakat untuk tidak ikut. Namun, pasti ke Puncak Bukit Kubau jika bersama Ketua Pokdarwis Lubuk Hiju, Salomo. Pasalnya, Salomo saat itu masih berada di Desa Lubuk Hiju. Rencananya, dia memulai perjalanan waktu siang di hari kedua tersebut. Dan memang, di sore hari, Salomo pun tiba di pos tiga.
Jelas, kenapa saya harus bersama Salomo? Jawabannya, karena dia yang membawa drone. Tentu hasil dokumentasi di puncak Bukit Kubau bakal lebih sempurna.
Hiburan
Di hari kedua, sebelum matahari terbenam, bernyanyi karaoke lagu dangdut mulai diperdendangkan. Ternyata, salah seorang anggota Pokdarwis Lubuk Hiju ada yang ‘nekat’ memanggul sound sistem portable beserta accu sebagai alat cargering kelistrikannya. Bagi saya, sungguh luar biasa. Karena, jangankan memanggul alat yang sebegitu beratnya, mendaki dengan hanya membawa badan saja sudah kepayahan.
Saat itu, satu persatu berdiri. Berjoget, bergoyang ria untuk menghibur diri sekaligus menjaga agar tubuh tetap hangat ditengah hembusan angin malam yang dingin bak menusuk tulang. Gembira bersama, tak terasa malam pun telah larut. Saatnya tidur, istirahat.
Puncak Kubau
Keesokannya di hari ketiga, saya dan Karamoi serta sebagian pegawai Dispar Lamandau dan Pokdarwis Lubuk Hiju, termasuk Salomo yang juga menjabat Sekdes Lubuk Hiju, mendaki menuju puncak Bukit Kubau.
Ekstrim memang, memacu adrenalin. Sebagian besar jalur pendakian memiliki tingkat kemiringan hampir mencapai 90 derajat. Ya, hampir vertikal tegak lurus. Dari pos tiga, setiap pendaki dihadapkan dengan tanjakan batu batungkat. Di tanjakan itu, dilarang memegang dengkul kaki sebagai penahan tubuh. Tapi masih diperbolehkan menggunakan tongkat yang dibuat dari dahan pohon. Sesampainya di batu batungkat, setiap tongkat yang digunakan harus disimpan, menyandar ke batu tersebut, tak boleh dibawa.
Di jalur pendakian ini dijumpai bunga pahambang. Bunga ini kabarnya hanya tumbuh di Bukit Kubau. Saat itu pula, ditemui air yang menetes dari bebatuan. Namanya, Air Pantis Nangis. Konon, air itu berasal dari tangisan Burung Pantis. Pun demikian di jalur tersebut banyak dijumpai pohon sangkaratus. Pohon ini bisa berfungsi sebagai pijakan atau pegangan saat mendaki. Selain itu sudah disediakan tali temali untuk pegangan pada sebagian jalur yang sangat terjal.
Dari pos tiga, saya membutuhkan waktu sekitar setengah jam untuk mencapai puncak Bukit Kubau. Sesampainya di puncak Bukit Kubau, terasa bebas. Plong tanpa beban hidup. Perjuangan pun terbayar lunas. Diperkirakan, puncak Bukit Kubau bisa menampung hingga 30 orang. Tanpa lama-lama, berfoto untuk mengabadikan momen saat berada di puncak Bukit Kubau segera dilakukan. Mulai dari smartphone hingga drone pun diterbangkan untuk mengambil gambar foto dan video.
Setelah puas mengambil dokumentasi, saya bersama yang lainnya pun segera turun kembali ke pos tiga, untuk persiapan pulang. Akhirnya, sekira pukul 11.30 WIB semua yang berada di pos tiga, turun. Pulangnya, melalui jalur yang baru. Jalur yang saya rasa lebih dekat dengan diselingi jalan landai meski kian banyak trek yang lebih curam. Tak kurang dari dua jam, saya tiba di pos satu. Tak tunggu lama, saya langsung naik ojek menuju perkampungan Lubuk Hiju, untuk selanjutnya pulang ke Nanga Bulik. (Bayu Harisma/K2)