Bayu Harisma
Kotawaringin News, Lamandau – Pagi itu, Sabtu (11/8/2018), cuaca di Langit Lamandau cukup cerah. Awan putih menyelimuti langit kabupaten berjuluk Bumi Bahaum Bakuba ini. Saya bersama rombongan Bupati Lamandau terpilih 2018-2023, H Hendra Lesmana, melakukan perjalanan ke Hulu Sungai Batangkawa, Kecamatan Batangkawa, Kabupaten Lamandau. Ya, selain untuk mengunjungi bersilaturahmi dengan masyarakat di tiga desa di Hulu Batangkawa (Karang Mas, Kina, Jemuat), rombongan sekira 15 orang itu bersiap untuk menelusuri eksotika di Hulu Sungai Batangkawa.
Waktu menujukkan 08.00 WIB, ketika saya bersama rombongan ini berangkat dari Ibu Kota Lamandau, Nanga Bulik. Lima unit kendaraan roda empat dipacu untuk melakukan perjalanan bertajuk rekreasi itu.
Tanah latrit merah, hampir menghiasi perjalanan darat tersebut. Sebelum sampai di Karang Mas, tengah hari rombongan tiba di mess perusahaan yang ada di Desa Batu Ampar. Di sana, rombongan mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.
Tak lama, seusai makan siang itu, rombongan pun melanjutkan perjalanan darat menuju Desa Karang Mas. Ya, sekira pukul 14.00 WIB, rombongan pun tiba di Karang Mas, setelah mobil-mobil yang ditumpangi membelah hutan jalan tanah yang terjal dan berkelok.
Di Karang Mas, seperti saat kampanye, H Hendra dan rombongan tim suksesnya dalam Pilkada Lamandau 2018 itu menyalami warga. Bertegur sapa, bercerita tentang masa kampanye dulu, saat sang bupati terpilih ini menginjakan kaki pertama kali di desa tersebut.
Hari mulai sore, perjalanan pun dilanjutkan melalui jalur sungai menuju Desa Kina dan Jemuat. Mobil yang ditumpangi, harus ditinggal di Karang Mas, sebab tak ada akses darat ke dua desa di Hulu Batangkawa Kabupaten Lamandau tersebut.
Buka Keterisolasian
Sebenarnya, jarak tempuh menuju desa-desa di Hulu Lamandau ini bisa di pangkas. Tak kurang dari 4 jam, jika perjalanan yang sudah terintis melalui Desa Mengkalang Kecamatan Batangkawa, terbuka. Dari Desa Mengkalang, perjalanan ke Desa Karang Mas sudah terbuka, hanya tehalang rusaknya jembatan. Dari Karang Mas menuju Kina juga sudah terbuka, setengah jalan. Namun, saat ini masih terhalang aturan hutan produksi. Begitupun dengan akses darat dari Kina menuju Jemuat.
Tapi, benang kusut kendala pembukaan jalan ke desa-desa itu mulai terurai. Pemerintah pusat sudah memberikan sinyal lampu hijau pinjam pakai penggunaan lahan untuk akses jalan yang menghubungkan tiga desa di Hulu Lamandau tersebut. Keterisolasian desa-desa itu pun bakal terbuka. Hanya tinggal 7 kilometer akses darat penghubung tiga desa tersebut yang belum terbuka.
Keliling
Bersama rombongan H Hendra Lesmana, perjalanan menuju tiga desa hulu Lamandau itu harus keliling melalui jalan di Kecamatan Belantikan Raya. Jaraknya bisa mencapai dua kali perjalanan ketimbang melewati Desa Mengkalang Kecamatan Batangkawa.
Dalam perjalanan, dari Desa Karang Mas dilanjutkan menggunakan kelotok menuju Desa Kina dan Jemuat. Seperti di Desa Karang Mas, rombongan bupati terpilih itu bersilaturahmi dengan warga sekitar. Menyalami, menyapa dan bercengkrama.
Sebelum magrib tiba, rombongan pun melanjutkan perjalanan menuju lokasi pemancingan. Yaitu, daerah Hangus. Kira-kira satu jam perjalanan sungai dari Desa Jemuat.
Di Hangus, tiba setelah magrib. Perjalanannya relatif aman, meski sungai Batangkawa sedang surut.
Nonton Final U-16
Selepas tiba di Hangus, saya teringat. Malam itu, final AFF Indonesia U-16 vs Thailand U-16 digelar. Beruntung, motoris kelotok yang saya tumpangi bersama H Hendra Lesmana juga adalah pendukung militan sepakbola Indonesia. Saya memanggil motoris itu dengan nama Mas Bro. Dia berperawakan kecil, murah senyum dan yang pasti lihai dalam memacu kelotok.
Berangkatlah kami berdua. Ya, saya dan motoris itu kembali ke Desa Jemuat. Udara dingin menancap ke kulit kala perjalanan. Air pun banyak masuk ke dalam kelotok. Saya takut, takut perahunya karam. Namun, motoris ini memang patut diacungi jempol. Dia tahu jalur sungai ini. Meski peralatan lampu seadanya, dia bisa tahu di mana letak karang dan batu yang ada di sepanjang sungai dalam perjalanan Hangus-Jemuat.
Kira-kira satu jam kemudian, tibalah kami berdua di Desa Jemuat. Saya dan motoris itu langsung bergegas ke rumah salah seorang warga Jemuat, namanya Ridwan. Di rumahnya, sudah banyak orang yang menonton Final AFF U-16 tersebut.
TV yang Ridwan miliki dapat menyiarkan final tersebut. Ramenya. Teriakkan penonton bergemuruh saat Timnas Indonesia menggempur pertahanan Timnas Thailand.
Akhirnya, kegembiraan pecah di menit ke-32 dalam pertandingan itu. Pemain pengganti Fajar Faturachman mempu mencetak gol memanfaatkan umpan matang dari Andre Oktaviansyah. Timnas Indonesia memang tampil dominan sejak awal kick-off. Namun, beberapa peluang terbuang percuma. Tak ada gol tambahan hingga turun minum.
Memasuki babak kedua, Timnas Indonesia tak memgubah permainan. Tetap menguasai pertandingan, dan membuat sejumlah peluang berbahaya. Tapi upaya untuk mendapat gol tambahan, buntu. Di menit ke-73, Indonesia malah kebobolan. Pemain cadangan Apidet Janngam berhasil membobol gawang yang dijaga Ernando Ari, pemuda yang sempat mengikuti sekolah sepakbola di Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat.
Kedudukan imbang 1-1 hingga wasit meniup peluit panjang. Pertandingan pun dilanjutkan dengan adu tos-tosan. Dalam adu pinalti, penampilan Ernando Ari sangat gemilang. Dia dapat menggagalkan dua eksekusi pinalti dari pemain Thailand. Indonesia pun menang dengan score akhir 4-3 dalam adu pinalti.
Saya bersama penonton lainnya di Desa Jemuat, bersorak gembira. Raut wajah keceriaan tampak di wajah mereka. Saling berpelukan satu sama lainnya, karena tim yang didukung mereka bisa merasakan manisnya menjadi Juara.
Setelah itu, saya bersama motoris pun kembali ke Hangus. Ya sama, menyusuri sungai di malam hari, selama 1 jam. Sekitar pukul 22.00 WIB saya pun tiba di Hangus.
Api Unggun
Seperti camping, rombongan H Hendra Lesmana membuat api unggun. Ya untuk sekedar menghangatkan badan di malam yang memang sangat dingin. Apalagi, pakaian yang saya kenakan basah. Parahnya, saya hanya membawa satu stel baju. Karena, saya kira perjalanan itu cukup mudah dan tidak lama.
Memang perjalanan sungai dari Karang Mas ke Jemuat relatif nyaman. Tak banyak arus dan riam yang menghadang. Tapi setelah dari Jemuat, riam semakin banyak. Makanya, banyak air yang masuk ke dalam perahu saat menghantam riam.
Tapi pakaian yang basah itu segera kering setelah mendekatkan diri ke api ungun tersebut. Ya, rombongan pun sekedar mengobrol, menikmati indahnya langit yang cerah dan suara arus sungai Batangkawa itu.
Go Laminding
Keesokan harinya, Minggu (12/8/2018), rombongan melanjutkan perjalanan menuju Laminding. Ya, selain untuk melihat keindahan alamnya, Laminding digadang-gadang menjadi spot mancing yang bagus untuk para rombongan.
Medannya memang sulit. Apalagi, saat itu air sungai sedang surut. Hanya dua dari 6 klotok yang mampu melewati tantangan riam pertama. Bahkan, ada perahu yang hancur saat mencoba mengalahkan riam pertama di jalur Hangus-Laminding.
Rombongan pun dipaksa untuk berjalan di hutan-hutan pinggir sungai, karena perahu tak bisa ditumpangi saat melewati riam. Capeknya, harus berjalan hingga 30 menit. Apalagi, saya tidak pakai alas kaki. Aduh, ibarat terapi kaki. Dampal kaki harus menginjak batu-batu kecil yang cukup menyakitkan. Ya, kadang-kadang H Hendra Lesmana pun nyeker, tanpa alas kaki. Ya, namanya nyeker, kesakitan juga.
Begitupun ajudannya dari kepolisian bernama Azis. Perawakan yang gempal, gemuk, dan harus nyeker. “Aduh sakit. Nyesel ninggal sendal. Gara-gara ngikutin kamu, nyeker,” bisik dia kepada saya dalam perjalanan itu.
Ya namanya ajudan bupati, pengawal bupati, dia tak menampakan rasa sakit. Seolah-olah kuat meski kesakitan. Ajudan macam apa jika menampakan rasa kesakitannya saat berjalan nyeker melewati hutan dan bebatuan itu.
Akhirnya, rombongan pun menaiki kembali kelotok setelah berjalan hingga setengah jam. Kelotok hanya 2 unit, terpaksa rombongan pun di langsir. Bolak-balik.
Saya bersama H Hendra Lesmana satu kelotok pada pemberangkatan pertama. Tak kurang dari 3 kali, kami harus turun dan berjalan kaki sebelum sampai Laminding. Aduh, memang sakit. Sang Bupati Terpilih ini pun kebetulan tak pakai alas kaki. Sandalnya ketinggalan di tangan ajudannya, Azis yang tak satu kelotok. Tapi, kelihatannya kuat-kuat saja. Jalannya biasa, tak kelihatan kesakitan saat kakinya menginjak di bebatuan tajam. Tapi, mungkin saja ditahan, seolah-olah tak sakit. Saya tak tega bertanya soal itu kepadanya. Yang pasti saya kesakitan.
Ada spot mancing sebelum sampai Laminding. Cukup bagus, tapi namanya bukan pemancing, pastinya tak dapat ikan. Lagian ikannya mungkin saya usir, karena saya menceburkan diri ke air sungai itu untuk mandi.
Jelang siang, perjalanan pun dilanjutkan dari spot itu menuju Laminding. Ada satu lagi, riam yang memaksa untuk berjalan kaki sebelum akhirnya sampai di Laminding.
Di Laminding, suasana alamnya sangat bagus. Air sungai sangat jernih. Di penghujung Laminding ada sebuah air terjun yang tertumpah ke sungai yang membentuk seperti waduk. Nah, disanalah spot memancing. Sejumlah pemancing pun bergairah. Umpan di joran pun dilempar, tanda memancing dimulai. Tak banyak, tapi akhirnya ikan pun didapat. Selama memancing, sekurangnya 3 ekor ikan didapat. Ya, untuk makan sore.
Tak lama di Laminding, rombongan pun segera bergegas pulang menuju Hangus, sesudah siang, jelang sore. Benar saja, sore hari rombongan pun tiba di Hangus setelah berjalan kaki melewati sebuah gunung untuk memangkas riam di daerah Hangus itu. Itu jalan darat berbeda yang rombongan lewati kala berangkat ke Laminding. Memang jaraknya tidak sejauh yang pertama, namun medannya menggila. Tanjakan dan turunan tajam harus dilewati. Membelah bukit. Sungguh kaki-kaki ini seperti rontok. “Ini harus gigi satu terus, tambah double gardan juga harus pakai,” ujar H Hendra Lesmana saat melewati bukit itu.
Sesampainya di Hangus, itulah moment yang paling ditunggu-tunggu. Ya, makan. Salah seorang dari rombongan bernama Edi Manto, memang jago masak. Dia memasak ikan hasil pancingan itu. Ikan di bikin sayur asam. Bumbunya, dia ambil dari bukit. Kebetulan, saat melewati bukit, rombongan mendapatkan cabe rawit serta terong asam.
Wah, nikmat sekali. Selain sayur asam, ikan juga diolah dengan cara dibakar. Nasinya, nasi liwet. Dimasak di kastrol berukuran kecil. Saking nikmatnya, H Hendra Lesmana sampai nambah makan hingga beberapa kali. “Nikmat memang sayur asam bang Edi nih,” sembari menuangkan kembali sayur asam itu ke piringnya.
Setelah acara santap hasil olahan ikan itu, tibalah waktunya untuk pulang ke Nanga Bulik. Ya seperti biasa, dalam perjalanan pulang, rombongan tak lupa untuk menyalami warga di Desa Jemuat dan Karang Mas. Perjalanan pulang, cukup santai. Tidak terburu-buru. Sampai di Nanga Bulik pun, rombongan tiba pukul 06.00 WIB, Senin (13/8/2018).