Kotawaringin News, Lamandau – Konflik antara Warga Desa Sekoban, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau dengan PT First Lamandau Timber Internasional (PT FLTI) semakin memanas.
Perusahaan group Triputra Agro Persada Group (TAP) itu diduga telah melakukan pelecehan adat masyarakat setempat, yakni pelanggaran di area Hinting Adat Lumpang Begawar.
Damang Kecamatan Lamandau, Redan menjelaskan, jika pemasangan hinting adat itu dilakukan sesuai prosedur ketentuan adat oleh lembaga Kedemangan dan DAD setempat.
“Pemasangan Hinting Adat itu melalui ritual dan ada aturannya, sehingga pembukaan hinting adat juga harus dilakukan sesuai prosedur dan jika dibongkar paksa, itu melecehkan adat kami. Ada sanksinya,” tegas Redan, Kamis (17/3/2022).
Lanjut Redan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Ketua DAD Kabupaten Lamandau, Hendra Lesmana. Paska pertemuan, Kademangan Kecamatan Lamandau akan melakukan sidang adat.
Pihaknya, kata Redan, tidak akan tinggal diam dengan tindakan semena-mena perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut. Pembukaan paksa atas Hinting Adat tersebut merupakan pantangan dan ada sanksi bagi pelanggarnya.
“Kami sudah berkoordinasi dengan DAD Lamandau dan akan menggelar sidang adat untuk menentukan sanksi kepada pihak perusahaan,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakannya, jika nantinya PT FLTI terbukti melakukan pelanggaran adat, sudah tentu saksi adat akan dijatuhkan. Sanksi ini sendiri, kata Redan, mengacu pada aturan kesepakatan Tumbang Anoi.
Selain itu, terang dia, hukum adat sendiri sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 16/2008 tentang Lembaga Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Kedua ketentuan itulah yang menjadi landasan dasar penetapan sanksi adat.
“Jika kami (Kademangan) tidak memberikan sanksi (menggelar sidang adat) terkait pelanggaran ritual Hinting Adat, kami yang akan mendapat sanksi,” sebut Redan.
Sementara, Salah satu Tokoh Gerdayak Kobar, Wendy mengaku akan terus mengawal perjuangan masyarakat Desa Sekoban. Khususnya terhadap masyarakat yang saat ini sedang berjuang memperoleh hak 20 persen kebun Plasma.
Sejak masuk pada tahun 2000 lalu, lanjut Wendy, pihak perusahaan telah menggarap lahan perkebunan sawit sekitar 1.000 hektare di wilayah Desa Sekoban dan hingga saat ini plasma yang semestinya disediakan, sekitar 200 hektare (20 persen) bagi warga itu tak kunjung diberikan.
Terkait laporan pihak perusahaan ke Polres Lamandau, Wendy meminta Kepolisian untuk melihat situasi persoalan di lapangan yang berawal dari tidak dijalankanya kewajiban pembangunan kebun masyarakat (plasma).
“Jangan pernah ada kriminalisasi terhadap masyarakat. Kedua belah pihak jangan saling provokasi dan hak warga segera dipenuhi,” pintanya.
Dihubungi terpisah, Surya perwakilan PT FLTI, saat dkonfirmasi terkait sidang adat yang bakal digelar Kademangan dan DAD Kecamatan Lamandau, mengaku belum berani berkomentar. “Sampai saat ini belum ada arahan dari pusat,” jawab Surya singkat.
Diketahui, konflik antara warga Desa Sekoban dan PT FLTI berawal dari tidak dipenuhinya tuntutan masyarakat setempat atas permintaan lahan kemitraan (plasma) sebesar 20 persen dari total lahan yang ada di wilayah desa tersebut.
Meski sudah beberapa kali menggelar pertemuan, hingga saat ini kedua belah pihak belum bersepakat. Selanjutnya, Kademangan dan DAD setempat menggelar ritual adat, Hinting Adat Lumpang Begawar.
Karena ritual adat tersebut dinilai melanggar pasal 107 UU RI Nomor 39/2014 tentang Perkebunan. Pihak perusahaan melayangkan laporan ke Polres Lamandau dan membuka paksa Hinting Adat.
Sementara, pembukaan paksa tersebut dinilai warga merupakan pelanggaran (pantangan) dan pelecehan terhadap adat istiadat setempat. Selanjutnya, warga Desa Sekoban mendesak Kademangan segera menggelar sidang adat untuk memberikan sanksi kepada pihak perusahaan.(BH/K2)